Penataan ruang sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan telah memiliki
landasan hukum sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang. Dengan penataan ruang diharapkan dapat terwujud ruang kehidupan yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Tetapi hingga saat ini kondisi yang tercipta
masih belum sesuai dengan harapan. Hal ini terlihat dari tantangan yang terjadi terutama
semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor; semakin meningkatnya
kemacetan lalu lintas di kawasan perkotaan; belum terselesaikannya masalah permukiman
kumuh; semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan;
serta belum terpecahkannya masalah ketidakseimbangan perkembangan antarwilayah.
Berbagai permasalahan tersebut mencerminkan bahwa penerapan UU No. 24/1992 tentang
Penataan Ruang belum sepenuhnya efektif dalam menyelesaikan permasalahan yang ada,
terutama memberikan arahan kepada seluruh pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan penataan ruang guna mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif,
dan berkelanjutan. Kondisi ini merupakan latar belakang dari penyusunan dan
pemberlakuan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang
dimaksudkan untuk memperkuat norma penyelenggaraan penataan ruang yang sebelumnya
diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Adanya berbagai ketentuan baru dalam UUPR memiliki implikasi terhadap berbagai aspek
penyelenggaraan penataan ruang, baik aspek kelembagaan, aspek hukum, aspek teknis, serta
aspek sosiologis. Implikasi terhadap aspek kelembagaan mencakup implikasi terhadap
tatanan organisasi penyelenggara pemerintahan, tata laksana, dan kualifikasi sumber daya
manusia, baik yang bekerja pada sektor publik (pemerintah), swasta, maupun masyarakat
pada umumnya. Makalah ini akan membahas garis besar implikasi penerapan UUPR
terhadap kebutuhan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya para perencana
ruang serta peran asosiasi profesi perencana (IAP) ikut dalam merespon perubahan yang
terjadi.
ISU STRATEGIS PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG PASCA
PEMBERLAKUAN UUPR
Beberapa ketentuan baru berikut isu terkait penerapannya adalah sebagai berikut:
1. Pembagian kewenangan secara tegas antara Pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
2. Penegasan muatan rencana tata ruang
Ketentuan tersebut di atas menuntut kualitas rencana tata ruang wilayah yang tinggi, di
mana rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan:
a. perkembangan lingkungan strategis (global, regional, nasional);
b. upaya pemerataan pembangunan;
c. keselarasan pembangunan nasional dan daerah;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana tata ruang yang terkait dengan wilayah perencanaan (rencana tata ruang
wilayah administratif yang lebih tinggi/lebih rendah; rencana rinci tata ruang dari
wilayah administrasi yang lebih tinggi; serta rencana tata ruang wilayah dari daerah
yang berbatasan)
3. Sifat komplementer antara RTRWN, RTRWP, dan RTRWK
4. Penerapan standar pelayanan minimal dalam penyelenggaraan penataan ruang
5. Perhatian yang lebih besar terhadap kelestarian lingkungan hidup
6. Keterkaitan antara rencana tata ruang dengan program pembangunan
7. Penegasan mengenai hak masyarakat
8. Penegasan kewajiban dan larangan serta ketentuan sanksi
9. Batas waktu penyesuaian rencana tata ruang dengan ketentuan UUPR