Senin, 10 Januari 2011
Material Ramah Lingkungan
PUTIHKAN ATAPMU, Bumi Kan Lebih Sejuk!!!
“ Menjadikan atap berwarna putih di lingkungan kota akan memmbuat emisi karbon yang dapat dikurangi setara dengan emisi yang dikurangi oleh kendaraan bermotor selama 11 tahun “, ungkap Steven Chu, Menteri Energi Amerika Serikat. Steven Chu merupakan menteri dalam cabinet Barack Obama yang juga seorang perih hadiah Nobel di bidang fisika. Menurutnya jika gagasan tersebut dapat direalisasikan, emisi karbon dapat dikurangi hingga mencapai 44 miliar ton atau setara dengan menyingkirkan seluruh mobil dari jalanan selama 18 tahun. Dengan kondisi factual bahwa atap-atap bangunan memiliki sudut kemiringan tertentu sehingga proses pemantulan cahaya matahari tidak sempurna, itupun dapat dapat mengurangi emisi karbon sampai 24 miliar ton.
Namun secara sederhana kita dapat menemukan jawaban mengapa atap putih mampu mengurangi panas, dari fenomena sehari-hari. Di siang hari yang terik, kita akan merasa lebih nyaman bila memakai baju warna putih atau terang ketimbang warna gelap, apalagi hitam. Warna hitam akan menyerap panas dari matahari sehingga tubuh kita akan merasa kegerahan dan kita butuh energy lebih banyakuntuk membuat tubuh kita nyaman, dengan minum air lebih banyak, mengipasi tubuh, sampai memakai alat bantu beraneka ragam agar merasa lebih nyaman.
Sejak kecil kita diajarkan warna putih bersifat memantulkan cahaya, sedangkan hitam menyerapnya. Dengan “tutup kepala” yakni atap rumah yang berwarna putih atau terang ( bukan warna hitam atau warna gelap ) ruangan dalam rumah cenderung lebih dingin sehingga energy untuk pendingin udara pun dapat dikurangi secara signifikan. Bila dibutuhkan pendingin udara, ia tidak akan bekerja terlalu terforsir akibat panas yang diterima ruangan rumah tidak setinggi atap berwarna gelap.
Suatu bidang yang berwarna putih atau pucat akan memantulkan cahaya 80% cahaya matahari yang menerpa permukaan bidang , sedangkan yang berwarna gelap hanya 20%. Dengan panas yang dipantulkan kembali ke atmosfer temperature bumi menjadi lebih dingin, ditambah lagi tidak dibutuhkan energy ekstra untuk membuat ruangan dalam bangunan menjadi lebih dingin.
Panas yang terserap pada benda-benda berwarna gelap akan terjebak pada material-material akan tetap bertahan di permukaan bumi Karena terselubungi oleh gas-gas pembentuk rumah kaca seperti karbondioksida, metana, dan karbonmonoksida.
Namun, mengecat atap bisa menimbulkan resiko ketidaknyamanan visual, apalagi jika dipakai pada bangunan rendah. “ Silaunya bisa mengganggu mata. Namun sebaliknya jika diterapkan pada bangunan tinggi, “ ungkap Yandi Andri Yatmo, dosen Departemen Arsitektur Universitas Indonesia.
Sementara Dr.Ing.Ir. Haryo Sulistyarso, Kepala perencanaan Kota Institut Teknologi sepuluh November (ITS) Surabaya mengatakan, efek dari pengecatan atap tergantung pada tiga hal, yakni jenis cat yang digunakan, material atap/genteng, dan sudut kemiringannya. Bila atap tegak lurus arah sinar, ia akan memantulkan, tetapi dengan bentuk atap yang rata-rata miring panas itu justru menyebar ke sekeliling lingkungan dan bisa mengganggu sekitarnya. Sudut atap yang miring juga mengakibatkan paparan sinar matahari yang terpantul tidak bisa sepanjang hari penuh.
Mendaur Ulang Fungsi Nako
Jendela nako sering dianggap sudah ketinggalan jaman. Tapi tidak demikian dengan jendela nako pada desain fasad rumah ini.
Susunan kaca nako pada jendela pernah sangat populer pada tahun 80-an. Dalam sebuah rumah setidaknya ada satu bagian yang dilengkapi jendela nako. Namun seperti halnya tren fashion masa lalu yang selalu populer kembali, tren arsitektur pun demikian. Arsitek Ir. Andra Matin telah mencoba mendaur ulang kembali fungsi kaca nako dengan sentuhan kekinian.
Fasad Tertutup untuk Lantai Bawah
Rumah yang terletak di daerah Lebak Bulus ini punya konsep fasad yang sederhana. Perancangnya ingin menjadikan rumah ini sebagai tempat yang privat sekaligus bangunan yang dapat bersosialisasi dengan lingkungan.
Lantai bawah yang lebih mudah dicapai orang terwujud dalam fasad yang lebih tertutup. Tujuannya agar ruang-ruang di dalamnya memiliki privasi yang tinggi. Fasad tertutup ini berupa pintu-pintu panel, yang ketika ditutup akan lebih menyerupai dinding ketimbang pintu. Kendati terkesan tertutup, sebagian besar lantai bawah berupa panel yang dapat dibuka. Menurut pemiliknya, rancangan seperti ini cukup memudahkan pemilik rumah bila ingin mengadakan acara-acara keluarga.
Nako, Sosialisasi dengan Lingkungan
Fasad lantai atas sebagian besar terdiri dari kaca-kaca nako yang terbuka, semi transparan, dan merupakan simbol sosialisasi dengan lingkungan. Meski begitu, ruang-ruang di dalamnya tetap privat sebab kaca yang digunakan sebagian besar jenis kaca yang tidak bening (kaca es). Selain itu kamar-kamar di balik kaca nako dipasangi gorden.
Secara estetis, penggunaan kaca nako di lantai atas ini berlaku sebagai penyeimbang massa lantai bawah yang masif. Alasan pemilihan kaca nako karena nako merupakan material yang fungsional, mudah penggunaan maupun perawatannya. Dengan adanya fleksibilitas sudut bukaan, pengguna dapat mengatur besar bukaannya.
Apakah Masih Perlu AC?
Ventilasi dalam rumah ini tercipta dengan baik berkat jendela nako. Ketika seseorang berada di dalam ruang, kesejukan akan terasa karena udara selalu dapat mengalir. Di lingkungan yang bersih seperti lokasi rumah ini, pada pagi dan sore hari penghuni rumah tidak lagi memerlukan pendingin ruangan (AC).
Lain halnya bila lokasi rumah berada di daerah padat yang panas, berdebu, dan tingkat polusinya tinggi. Tentu AC tetap akan diperlukan. Di rumah ini, penghuninya menggunakan AC hanya pada saat istirahat di malam hari, yakni ketika semua jendela harus ditutup (alasan keamanan). Selain itu, udara luar di malam hari juga kurang baik untuk kesehatan.(mya)
Struktur Jendela Nako
Dilihat dari sisi desain, alasan pemakaian jendela nako pada rumah ini adalah sebagai penyeimbang dari fasad lantai bawah yang masif dan tertutup. Kaca-kaca nako pada lantai atas menggunakan produklouvre windows dari Dicky Premium (produsen kaca nako). Di sini digunakan kaca dalam jumlah besar (sekitar 1.800 daun) sehingga hampir menutupi seluruh permukaan dinding.
Struktur utama nako menggunakan struktur aluminium—fabrikasi powder coating putih. Struktur seperti ini memang sudah sering dipakai sebagai konstruksi vertikal nako. Sedangkan untuk perkuatan horizontal, perancang menggunakan plat besi setebal 10 mm yang dipasang menempel ke balok, kemudian di-finishing zyncchromate dan cat.
Material Dinding Rumah Berbahan baku Limbah
Isu lingkungan kini mulai banyak merebak di tengah masyarakat. Setiap produk baik itu bahan mentah maupun barang jadi, diupayakan untuk lebih ramah lingkungan. Salah satunya dengan melakukan konsep 3R- reduce, reuse, recycle terhadap barang-barang tersebut. Hal ini diperuntukan bagi semua benda, termasuk material dinding.
Lazimnya membangun rumah, dinding disusun diatas batu bata yang ditembok dengan semen, atau menggunakan batako atau mungkin beton. Tapi, kini tersedia alternatif bagi material dinding yang lebih ramah lingkungan. Bagaimana bisa? Karena material tersebut terbuat dari bahan limbah yang merupakan sisa hasil produksi.
Limbah hasil produksi yang dapat dijadikan sebagai material dinding antara lain sekam padi, tangkai padi, limbah gergajian kayu sengon, limbah sawit, dan masih banyak lagi. Setiap bahan baku tersebut adalah bahan-bahan yang umumnya dibuang setelah proses produksinya selesai. Contohnya, sekam padi yang langsung dibuang setelah berasnya diambil untuk bahan makanan.
Karakter Berbeda
Untuk lebih mudah diaplikasikan sebagai material dinding yang digunakan di tempat tinggal, bahan-bahan limbah tersebut dicampurkan dengan bahan lainnya. Utamanya, bahan-bahan tersebut dicampurka dengan bahan perekat seperti semen, resin, hingga tanah liat. Semua bahan perekat tersebut, fungsinya adalah untuk merekatkan limbah tersebut umumnya berbentuk bubuk, serta mengeraskan permukaan dari panel dinding limbah tersebut. Setelah dicampurkan, kemudian dibentuk menjadi panel dinding berukuran 120 cm x 60 cm.
Yang perlu diperhatika adalah karakter dari masing-masing bahan penyusun yang menjadi panel dinding tersebut. Contohnya adalah sekam padi yang setelah dibeentik menjadi panel dinding, akan memiliki porositas yang cukup tinggi. Sehingga, ia perlu dipres selama 24 jam agar tidak memiliki sifat membal. Selain itu, yang paling menarik adalah sifat dari panel dinding yang berbahan limbah sawit,, karena dapat menjadi barrier terhadap rayap.
Dilapisi Plywood
Bahan dasar dari panel dinding yang terbuat dari limbah produksi berbahan bubuk, membuat permukaan dari panel dinding sedikit kasar. Hal itu terjadi jika bubuk limbah dibentuk menjadi panel dinding dengan menggunakan bahan perekat berupa resin. Untuk mengantisipasi agar tampil lebih menarik, maka panel dinding tesebut dilapisi dengan plywood.
Nyatanya di lapangan, tak semua panel dinding dibentuk dari bubuk limbah dicampur dengan resin, namun dengan semen pun bisa. Dengan menggunakan semen, maka pelapisan permukaan plywood tidaklah diperlukan.
Asal Limbah
Limbah penyusun panel dinding kebanyakan berasal dari sisa-sisa produksi :
1. 1. Bubuk kayu sisa pembakaran genting, yang dapat memberika warna coklat menyerupai kayu pada panel dinding yang disusun.
2. 2. Bubuk kayu sisa gergajian dari pabrik gergaji.
3. 3. Limbah tangkai padi dan sekam padi dari pabrik pengolahan padi menjadi beras.